Di tengah perkembangan kota
Jakarta yang pesat, Kawasan Pasar Baru pun terus tumbuh menjadi salah satu
pusat perbelanjaan di Jakarta. Selain itu, kawasan Pasar Baru ini merupakan
salah satu kawasan tempat tinggal etnis Tiong Hoa di Jakarta yang sudah ada sejak
jaman Belanda. Salah satu bukti, masih ada sisa-sisa arsitektur rumah jaman
dahulu seperti atap, atau hiasan/ukiran di tembok rumah. Namun sayangnya rumah-rumah tertutup bangunan
toko-toko modern yang berdiri sejajar sepanjang jalan utama Pasar Baru. Di
suatu gang yang sempit, terdapat Klenteng yang menjadi sudah menjadi saksi bisu
perkembangan kawasan Pasar Baru lebih dari 300 tahun yang lalu, Hok Tek Bio namanya.
Untuk mencapai klenteng ini cukup
mudah, kita bisa menggunakan kendaraan pribadi langsung menuju kawasan Pasar
Baru, atau bisa menggunakan Busway TransJakarta dan Kereta. Jika menggunakan
kereta, anda bisa turun di Stasiun Juanda, lalu dari stasiun tinggal berjalan
kaki sekitar kurang dari 1 km akan sampai di depan gapura masuk kawasan Pasar
Baru. Jika naik Transjakarta, bisa melalui rute trayek PGC-Harmoni transit di
Juanda lalu ke Pasar Baru dan dari Harmoni-PGC tak perlu transit di Juanda.
Sesampainya di kawasan Pasar
Baru, kita akan melihat gapura besar dan tinggi bergaya etnik Tiong Hoa, terukir
tulisan “Pasar Baroe 1820” yang menandakan bahwa kawasan ini mulai berdiri pada
tahun 1820. Melewati gapura, kita bisa melihat banyak toko-toko modern berdiri.
Dari toko elektronik, toko pakaian, kain, kuliner dan lain-lain. Semakin
memasuki kedalam, anda akan melihat plang petunjuk kecil menuju yayasan Vihara
Dharma Jaya (Sin Tek Bio) nama lain dari Klenteng yang kita tuju. Plang
petunjuk tersebut membawa kita melewati gang sempit yang hanya muat untuk 1-2
orang saja.
Tertulis jelas di tembok gang sempit
yang kita lewati, kalau Klenteng ini berdiri sejak tahun 1698. Karena saya
berkunjung tahun 2014 jadi umur klenteng ini kurang lebih adalah 316 tahun.
Klenteng ini ada 3 tingkat namun digunakan tempat ibadah hanya sampai tingkat
tida saja. Di dalam klenteng ini terdapat ratusan dewa yang berasal dari abad
ke-17 dan abad ke-20 dengan 14 altar di ruang utama dan 14 altar di ruang atas.
Dan yang menarik disini adanya altar-altar tokoh lokal seperti Mbah Raden, yang
altarnya berisi peralatan tempat tidur seperti kasur, bantal guling mini,
cangkir-cangkir teh. Menurut sumber yang saya baca enempatan altar tokoh lokal
adalah suatu penghormatan para pendatang dari Tiongkok kepada wilayah dimana
mereka tinggal. Altar ini merupakan bentuk akulturasi kepercayaan pendatang dan
kepercayaan lokal.
suasana dalam klenteng |
suasana dalam klenteng |
Klenteng ini dibuka untuk siapa
saja baik yang ingin beribadah atau sekedar wisata seperti saya. Kita tidak
ditarik biaya masuk, hanya saja berkunjung ke klenteng ini harap berlaku sopan
karena merupakan tempat ibadah. Ada baiknya saat berkunjung ke sini, berbicara
dahulu meminta ijin kepada petugas yang ada di klenteng ini.
nb : berkunjung kesini kita bisa
sekalian kuliner terkenal di lokasi dekat sini,, tunggi tulisan berikutnya ya J
Duh dari dulu aku tuh penasaran gimana rasanya megang lilin segede itu lan, hehehe...
BalasHapus*salah fokus
rasa meluk lilin gede itu panas ci XD, bsk coba deh hehehehe
Hapuswah pernah nih kesini, malah sampe keatas2nya di jelajahin hehe.. btw keren mas fotonya
BalasHapuswahhh, sampai lantai paling atas juga mas??
Hapus